Minggu, 28 Oktober 2012

SENJA


Tepat pada pertemuan itu, sebuah senja yang mengantarkanku pada ingatan yang seharusnya aku lupakan. Dia mendekat dan menghampiri. Pria jangkung berkulit putih yang terkadang berkaca mata itu sekarang benar-benar dihadapanku.


“apa kabar ?” sapanya padaku yang berusaha mengacuhkan pandangan matanya

“baik” jawabku singkat

“kamu tetap tidak berubah, angkuh dan jutek” katanya sekali lagi sebelum ia beralih berada disampingku.

Tak ku hiraukan segala ocehnya tentangku. Keberadaannya disini sungguh menambah ingatanku pada beberapa tahun yang lalu. Rasanya ingin sekali ku terjang hujan deras diluar sana agar tidak benar-benar kembali pada keadaan yang sama. Tapi, ia menahan tanganku seketika aku ingin keluar dari perteduhan ini.

“masih terlalu deras, tunggulah sampai sedikit mereda” ucapnya dengan senyum yang sama sekali tidak kuharapkan. Perlahan ia membawaku duduk tepat disampingnya.

Entah apa yang terjadi pada saat itu, ia terus menggenggam tanganku bahkan aku sendiri tak mampu menolaknya. Pertemuan ini terjadi  begitu saja sama halnya juga dengan genggaman lalu pelukan ini. Ahh Kamu selalu bisa membuatku melayang dan tanpa sadarku pun kamu selalu punya cara untuk menjatuhkanku kembali.

“Lepaskan..” kataku seketika sadar akan lelucon ini dan berusaha menghindari genggaman serta pelukannya.

“Kenapa ? Aku hanya berusaha membuatmu nyaman” selalu ucapannya seperti itu

Aku beranjak dari tempat duduk itu dan kali ini aku benar-benar mengabaikan pertanyaannya. Sesekali ku toleh kekanan jalan namun metromini yang biasanya kutumpangi , malam ini entah melewati jalur mana. Halte yang awalnya dipenuhi dengan orang-orang yang mencari perteduhan kini semakin sepi seiring dengan hujan yang semakin mereda. Dan pria itu masih menunggu. Entah menunggu hujan berhenti atau menungguku mengucap satu kata lagi.

“Masih mau menunggu ? Ini sudah sepi, biar ku antar pulang”

“Sampai kapan mau terus diam seperti ini ?”

Berkali-kali sudah kuabaikan perkataannya. Sampai kudengar begitu keras dia katakan “Kamu selalu egois! Gak pernah berubah!”.

“Aku atau kamu yang egois ? Bukankah kamu lepaskan aku begitu saja, lalu kamu datang kembali ditahun yang seharusnya kita rayakan dengan indah. Bahkan setelah kejadian itu aku tidak pernah memaksamu kembali bukan. Lalu dimana letak keegoisanku ?” akhirnya kuluapkan semua sesak ini, yaa Tuhan pertengkaran yang seharusnya tidak pernah terjadi lagi sekarang terulang kembali. Dia beranjak lalu memelukku tanpa memperdulikan aku yang sibuk keluar dari jerat peluknya.

“Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu selalu berusaha menghindar dari pelukku. Tidakkah kamu rasakan pelukan ini masih sama seperti dulu dan itu berarti aku masih sangat mencintaimu. Dengarlah, aku mencintaimu dengan caraku, dengan cara yang berbeda dari sebelumnya” katanya sembari perlahan melepaskan pelukannya padaku. Dia terduduk dan menunduk.

“Aku tidak akan pernah tau apa-apa karena kamu tidak sedikit pun menjelaskannya padaku” bahkan suaraku sedikit melemah. Aku tak lagi melihatnya sebagai ksatria justru sebaliknya ia seperti tidak berdaya.  Ia tetap tidak menjelaskan apa-apa padaku selain secarik kertas terlipat yang sebelumnya terlihat seperti bekas remukan yang diberikan padaku.

“Osteosarcoma Positif Stadium Lanjut” hanya tulisan itu yang dengan sangat jelas aku baca. Tidak banyak hal yang aku tau tentang Osteosarcoma atau yang lebih sering didengar Tumor Ganas Tulang. Tapi bisa kurasakan dia begitu tersiksa. Kupeluk pria yang 5 tahun ini bersamaku dan 6 bulan belakangan meninggalkanku begitu saja tanpa kabar sedikit pun dan kini ia datang kembali dengan luka pada tubuhnya.

“Tenanglah, aku tidak apa-apa. Mungkin ini cara Tuhan menyayangiku. Tersenyumlah, aku akan terus mencintaimu meskipun dengan cara yang berbeda, meskipun tidak senyaman dulu. Jika nanti tangan dan kakiku tidak lagi kuat untuk menjaga dan memelukmu, aku siap jika harus kamu tinggalkan dan katakan jika kamu sudah sangat jera pada kondisiku, karena yakinlah aku tidak akan memaksamu untuk tetap bersamaku”  .

Dia terus mengelus-elus rambutku. Bodohnya! Seharusnya aku yang menyemangatinya bukan dia yang menenangkanku. Apa ini, ahh aku terlalu cengeng. Tapi, apa yang bisa kuperbuat selain menangis melihat orang yang sungguh kucintai berada dalam posisi seperti ini. Andaikan bisa kugantikan posisinya denganku, Tuhan.

4 komentar:

  1. mirip ceritaku rin :( serius.. bener2 mirip... bedanya cuma penyakitnya (jantung).. "Ia akan selalu disamping abang supaya abang selalu semangat, walaupun abang gak bisa liat Ia lagi" itu katanya --? @cyntiasari

    BalasHapus
  2. yang sabar dan tabah yaa bang, itu namanya cobaan. keep smile :)

    BalasHapus