Ku hempaskan badan ini
ke pembaringan yang ada disudut kamar. Ahh tempat ini selalu nyaman ketika aku benar-benar
kelelahan. Masih terngiang dengan jelas kata-kata itu ditelinga ku, “sulit
sekali melepaskannya”. Seketika dada ini seperti di ikat dengan amat keras lalu
napas ini berjalan satu persatu dengan sangat lambat. Nyesek. Entah dimulai
dari mana aku mengaguminya, bahkan bukan sekedar mengagumi. Lebih dari itu aku
mulai mengharapkannya. Bodoh rasanya ketika orang yang sudah kita kenal lama
tapi baru saat ini kita menganggapnya istimewa.
Aku mulai menerka-nerka
apa yang ia lakukan malam ini. Mungkin ia sedang terbaring melepas penat
seperti ku atau mungkin ia sedang duduk di pelataran rumah menikmati hembusan
angin malam bersama secangkir kopi. Kita
memang punya kebiasaan aktivitas malam yang sama tapi tidak dengan pikiran
kita. Aku memikirkanmu dan kamu memikirkan dia, misalnya. Atau lebih dalam,
aku memandangi wallpaper handphone ku lalu tersenyum manis pada sosok dibalik
layar, kamu. Sedangkan kamu, sedang menikmati hangatnya kopi dan membuka
album-album foto pada handphone mu lalu tersenyum getir melihatnya dengan perasaan bangga
kemudian penyesalan.
Aku kembali
menerka-nerka, siapa sosok diujung sana yang dengan sangat bangga nya kamu
ceritakan. Siapa sosok diujung sana yang sangat berat kamu lepaskan. Oh,
mungkin dia cantik, berhidung mancung, berkulit mulus, semampai dan apa pun
yang terlihat indah dimata mu. Sedangkan aku
yang diam-diam mengagumi mu tetap seperti ini, biasa dan sama sekali tidak
menarik perhatian mu.
Kamu yang selama ini
menjadi objek dalam tulisan ku pun tidak akan pernah sadar jika ada wanita disamping
mu yang selalu siap mendengarkan celoteh mu saat bersamanya dulu, meski pun
setelah itu dada ku kembali diikat oleh rasa cemburu. Mengapa yang ada selalu sulit disentuh dan mengapa yang didepan mata
sulit sekali diperjuangkan.