Hingga sampai dipersimpangan itu aku agak memelankannya. Persimpangan
dijalan Asoka itu memang lumayan sepi , hanya ada beberapa kendaraan yang
melintas. Selebihnya hanya pohon-pohon besar yang menjulang. Dengan samar-samar
aku kembali melihat sosok itu. Ia berada tepat ditaman persimpangan jalan. Pria
itu menunduk diatas kursi roda dengan syal yang melingkar dilehernya serta
memegang sesuatu yang entah apa itu. Dari sekilas terlihat bentuknya seperti sapu
tangan dengan ukuran yang lebih besar. Sudah seminggu semenjak kepindahan kerja
ku disini aku melihatnya. Awal kali melihat, aku hanya mengira dia sedang
berjalan-jalan ditaman dengan kursi rodanya , barangkali untuk menghirup udara
segar. Namun berkali-kali aku perhatikan ia tidak hanya sekedar menghirup udara
segar atau berjalan-jalan tapi ia seperti memurungkan diri.
“mungkin ia sedang
menyesali keadaannya yang tak bisa lagi berjalan” begitu pikirku kemudian.
Aku pun tanpa sadar berhenti dipersimpangan itu untuk
memperhatikannya lebih dalam. Entah pikiran ku saat itu melayang kemana hingga
dia membuat ku kaget dengan mengangkat kepalanya lalu melihat kearah ku. Aku pun
spontan tersenyum karena ketauan tengah memperhatikannya. Baru ini aku melihat
wajahnya dengan jelas. Dibalik kacamatanya terlihat matanya yang sendu.
“Bisa tolong ambilkan kain itu, tadi tertiup angin” dan ini yang
lebih membuat ku kaget , dia berbicara padaku.
Aku yang terbengong hanya mengangguk dan mengambil kain itu
“Ini” kataku sembari memberikannya
“Terima kasih” katanya kemudian, lalu kembali menunduk dan
mencium-cium kain itu
Aku yang kebingungan dengan tingkahnya pun mulai angkat
bicara dan beralih duduk dibangku panjang disebelah kursi rodanya
“kenapa kainnya kamu cium-cium ? bukannya tadi jatuh dan
pasti kotor terkena debu disini”
Dia hanya menoleh dan tanpa menghiraukan pertanyaan ku ia
kembali mencium kain itu. Aku yang semakin bingung akhirnya berkata lagi
“Betah banget ya kamu tiap pagi duduk disini sambil megang
kain itu”
“Karena aku menunggu”
“Menunggu siapa ?”
“Pemilik kain ini”
“Pacarmu ?”
“Bukan”
“Lalu ?”
“Ibu”
Aku hanya diam saja mencoba menerka-nerka apa yang terjadi
pada ia dan ibunya.
“aku belajar membuat kain ini hingga membentuk sebuah jilbab
segiempat dan akan ku berikan pada ibu untuk hadiah ulang tahunnya. Setiap pulang
dari pasar ibu selalu lewat persimpangan ini, aku akan bikin surprise untuk ibu . Tapi sampai
sekarang ibu gak pernah datang”
Aku rasa dia mulai nyaman bercerita dengan ku, mungkin ada
sesuatu yang ia pendam selama ini. Aku hanya mengangguk mendengar ceritanya dan
sesekali merespon
“Mungkin ibu mu ada dirumah, coba pulanglah”
“Dirumah hanya ada
orang-orang tidak waras yang bilang ibu sudah tidak ada dan mereka membawa
jasad manusia lain yang mereka bilang itu ibu. Mereka bodoh ! mereka selalu
menghalang-halangi ku buat ketemu ibu” kali ini air matanya menetes
Aku benar-benar bingung , sebenarnya apa yang terjadi. Jika ibunya
memang pergi berbelanja mengapa sampai berhari-hari tidak pulang. Ahh, dia membuat ku semakin penasaran.
“Kapan terakhir kamu ketemu ibumu ? tanyaku sekali lagi
“Waktu aku menunggu ibu disini , aku melihat seperti ibu
sedang berjalan lalu ada mobil yang menabraknya. Dan aku yakin itu bukan ibu,
ibu gak mungkin seceroboh itu. Aku tau ibu bagaimana. Dia wanita cerdas. Tapi aku
sempat menangis melihat wanita itu tergeletak di…” sampai disini dia tidak lagi
melanjutkan ceritanya dan kembali menunduk sambil sesenggukan menahan agar
tangisnya tidak menjadi. Sepertinya dia berhalusinasi karena tidak sanggup
untuk kehilangan ibunya dihari ulang tahun ibunya. Aku yang merasa iba akhirnya
juga ikut meneteskan air mata. Seandainya
aku diposisinya, Tuhan, mungkin takkan sanggup juga aku kehilangan sosok
malaikat tanpa sayap itu.Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar