Minggu, 24 Februari 2013

Pria di Persimpangan

Tepat pukul 6 pagi aku telah bersiap-siap diatas kuda besi ku, lalu melaju melika-liku diantara padatnya kendaraan. Asap-asap kendaraan pun ikut andil mewarnai aktivitas setiap pagi ku. Dan ini sudah menjadi menu hari-hari ku semenjak di mutasi ke lokasi anak cabang perusahaan yang lain. Letaknya yang lumayan jauh dan pedalaman membuat ku harus lebih awal berangkat kerja. Seperti dikejar-kejar oleh waktu, aku pun semakin mempercepat laju kendaraan ku.

Hingga sampai dipersimpangan itu aku agak memelankannya. Persimpangan dijalan Asoka itu memang lumayan sepi , hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Selebihnya hanya pohon-pohon besar yang menjulang. Dengan samar-samar aku kembali melihat sosok itu. Ia berada tepat ditaman persimpangan jalan. Pria itu menunduk diatas kursi roda dengan syal yang melingkar dilehernya serta memegang sesuatu yang entah apa itu. Dari sekilas terlihat bentuknya seperti sapu tangan dengan ukuran yang lebih besar. Sudah seminggu semenjak kepindahan kerja ku disini aku melihatnya. Awal kali melihat, aku hanya mengira dia sedang berjalan-jalan ditaman dengan kursi rodanya , barangkali untuk menghirup udara segar. Namun berkali-kali aku perhatikan ia tidak hanya sekedar menghirup udara segar atau berjalan-jalan tapi ia seperti memurungkan diri.

“mungkin ia sedang menyesali keadaannya yang tak bisa lagi berjalan” begitu pikirku kemudian.
Aku pun tanpa sadar berhenti dipersimpangan itu untuk memperhatikannya lebih dalam. Entah pikiran ku saat itu melayang kemana hingga dia membuat ku kaget dengan mengangkat kepalanya lalu melihat kearah ku. Aku pun spontan tersenyum karena ketauan tengah memperhatikannya. Baru ini aku melihat wajahnya dengan jelas. Dibalik kacamatanya terlihat matanya yang sendu.

“Bisa tolong ambilkan kain itu, tadi tertiup angin” dan ini yang lebih membuat ku kaget , dia berbicara padaku.

Aku yang terbengong hanya mengangguk dan mengambil kain itu
“Ini” kataku sembari memberikannya
“Terima kasih” katanya kemudian, lalu kembali menunduk dan mencium-cium kain itu

Aku yang kebingungan dengan tingkahnya pun mulai angkat bicara dan beralih duduk dibangku panjang disebelah kursi rodanya

“kenapa kainnya kamu cium-cium ? bukannya tadi jatuh dan pasti kotor terkena debu disini”
Dia hanya menoleh dan tanpa menghiraukan pertanyaan ku ia kembali mencium kain itu. Aku yang semakin bingung akhirnya berkata lagi
“Betah banget ya kamu tiap pagi duduk disini sambil megang kain itu”
“Karena aku menunggu”
“Menunggu siapa ?”
“Pemilik kain ini”
“Pacarmu ?”
“Bukan”
“Lalu ?”
“Ibu”
Aku hanya diam saja mencoba menerka-nerka apa yang terjadi pada ia dan ibunya.

“aku belajar membuat kain ini hingga membentuk sebuah jilbab segiempat dan akan ku berikan pada ibu untuk hadiah ulang tahunnya. Setiap pulang dari pasar ibu selalu lewat persimpangan ini, aku akan bikin surprise untuk ibu . Tapi sampai sekarang ibu gak pernah datang”

Aku rasa dia mulai nyaman bercerita dengan ku, mungkin ada sesuatu yang ia pendam selama ini. Aku hanya mengangguk mendengar ceritanya dan sesekali merespon

“Mungkin ibu mu ada dirumah, coba pulanglah”
“Dirumah hanya ada orang-orang tidak waras yang bilang ibu sudah tidak ada dan mereka membawa jasad manusia lain yang mereka bilang itu ibu. Mereka bodoh ! mereka selalu menghalang-halangi ku buat ketemu ibu” kali ini air matanya menetes

Aku benar-benar bingung , sebenarnya apa yang terjadi. Jika ibunya memang pergi berbelanja mengapa sampai berhari-hari tidak pulang. Ahh, dia membuat ku semakin penasaran.

“Kapan terakhir kamu ketemu ibumu ? tanyaku sekali lagi
“Waktu aku menunggu ibu disini , aku melihat seperti ibu sedang berjalan lalu ada mobil yang menabraknya. Dan aku yakin itu bukan ibu, ibu gak mungkin seceroboh itu. Aku tau ibu bagaimana. Dia wanita cerdas. Tapi aku sempat menangis melihat wanita itu tergeletak di…” sampai disini dia tidak lagi melanjutkan ceritanya dan kembali menunduk sambil sesenggukan menahan agar tangisnya tidak menjadi. Sepertinya dia berhalusinasi karena tidak sanggup untuk kehilangan ibunya dihari ulang tahun ibunya. Aku yang merasa iba akhirnya juga ikut meneteskan air mata. Seandainya aku diposisinya, Tuhan, mungkin takkan sanggup juga aku kehilangan sosok malaikat tanpa sayap itu.Ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar